Thursday, May 16, 2013

PENGERTIAN DAN SYARAT PEMBUKUAN MENURUT UU PERPAJAKAN

Untuk dapat menghitung dan memperhitungkan sendiri pajak terhutang diperlukan suatu pembukuan dan pencatatan yang teratur terhadap segala kegiatan usaha Wajib Pajak. Menurut Pasal 1 angka 26 UU KUP: "Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut”.

LAPORAN KEUANGAN SEBAGAI BAHAN DASAR PENGHITUNGAN PAJAK

Salah satu manfaat penting dari laporan keuangan adalah penyajian informasi untuk dijadikan sebagai bahan dasar penghitungan pajak. Bahan dasar disini mengandung makna bahwa informasi dalam laporan keuangan harus diolah lebih lanjut agar dapat ditentukan besarnya pajak terutang. Dengan demikian yang menjadi sorotan utama dalam akuntasi pajak adalah proses pengolahan informasi dari laporan keuangan sehingga diperoleh besaran yang menjadi dasar pengenaan pajak. Proses ini biasa disebut dengan Rekonsiliasi Fiskal.

Rekonsiliasi fiskal ini sangat diperlukan mengingat adanya perbedaan perlakuan antara akuntansi komersial dan akuntansi pajak dalam pengukuran dan pengakuan nilai suatu transaksi. Perbedaan ini biasa disebut sebagai koreksi fiskal. Koreksi fiskal terdiri atas dua jenis..
  1. Koreksi positif, yaitu koreksi yang menyebabkan jumlah pajak terutang menjadi lebih besar. Misainya terdapat beban operasional yang menurut akuntansi komersial dapat diakui, namun menurut pajak tidak dapat diakui sebagai pengurang penghasilan (non-deductible expense). Sebagai contoh adalah biaya untuk kepentingan pribadi pengurus. 
  2. Koreksi negatif, yaitu koreksi yang menyebabkan jumlah pajak terutang menjadi lebih kecil. Misainya, terdapat penghasilan yang menurut akuntansi komersial dapat diakui, namun menurut pajak tidak dapat diakui sebagai objek pajak. Sebagai contoh adalah penghasilan yang diterima dalam bentuk natura.
Wajib Pajak mungkin sering mendengar istilah Laporan Keuangan Fiskal, istilah ini sebenarnya bukan istilah baku dalam terminologi akuntansi di Indonesia. istilah ini digunakan untuk merujuk laporan keuangan yang telah dilengkapi dengan koreksi fiskal untuk menghitung dasar pengenaan pajak. Dalam buku ini sedapat mungkin dihindari penggunaan istilah Laporan Keuangan Fiskal karena dapat menimbulkan kesalahpahaman di mana istilah ini dianggap merujuk pada Laporan Keuangan yang disusun berdasarkan ketentuan perpajakan. Sehingga dengan demikian akan timbul persepsi bahwa ada dua jenis laporan keuangan yaitu Laporan Keuangan Komersil dan Laporan Keuangan Fiskal. Padahal tidak demikian kenyataannya.

Ketentuan perpajakan hanya mengatur bahwa Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan sesuai dengan amanat pada Pasal 28 UU Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU KUP). Namun, peraturan perpajakan tidak mengatur tentang bagaimana mencatat transaksi dan menyusun pembukuan atau pencatatan tersebut. Pencatatan transaksi dan penyusunan Laporan Keuangan adalah domain akuntansi keuangan yang tunduk pada aturan-aturan dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Peraturan perpajakan memanfaatkan informasi yang telah tersedia pada Laporan Keuangan untuk kemudian dilakukan proses penyesuaian sehingga diperoleh dasar pengenaan pajak. Hal ini sesuai dengan memori penjelasan Pasal 28 ayat (7) UU KUP yang menyatakan bahwa, "Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain."

Berdasarkan Pasal 12 UU KUP dapat disimpulkan bahwa sistem pemungutan PPh Indonesia menganut sistem "Self Assessment". Dalam sistem ini Wajib Pajak diwajibkan untuk menghitung, memperhitungkan dan membayar sendiri pajak-pajak yang terutang berdasarkan ketentuan undang-undang perpajakan dan melaporkan ke kantor pelayanan pajak dengan cara mengisi dan menyampaikan SPT Dengan demikian penentuan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang berada pada Wajib Pajak itu sendiri.

Pajak Penghasilan menganut sistem pemajakan komprehensif (comprehensive income taxation) dengan mendefinisikan penghasilan berdasarkan tambahan kemampuan ekonomis. Pajak Penghasilan dikenakan atas dasar jumlah penghasilan yang dikenakan pajak yang diambil dari catatan pembukuan. Dalam Perpajakan ditentukan bahwa Wajib Pajak dalam negeri diwajibkan untuk melaporkan pajak terutangnya kepada negara dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak yang dilampiri dengan Laporan Keuangan. Laporan Keuangan ini disusun khusus untuk kepentingan perpajakan dengan rnengindahkan semua peraturan perpajakan.
                Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) UU KUP menyatakan sebagai berikut: "Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.” Laporan Keuangan tersebut merupakan insrumen yang sangat berharga untuk menilai kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajibannya.

* BTC Team *