Salah
satu manfaat penting dari laporan keuangan adalah penyajian informasi untuk
dijadikan sebagai bahan dasar penghitungan pajak. Bahan dasar disini mengandung
makna bahwa informasi dalam laporan keuangan harus diolah lebih lanjut agar
dapat ditentukan besarnya pajak terutang. Dengan demikian yang menjadi sorotan
utama dalam akuntasi pajak adalah proses pengolahan informasi dari laporan
keuangan sehingga diperoleh besaran yang menjadi dasar pengenaan pajak. Proses
ini biasa disebut dengan Rekonsiliasi Fiskal.
Rekonsiliasi
fiskal ini sangat diperlukan mengingat adanya perbedaan perlakuan antara
akuntansi komersial dan akuntansi pajak dalam pengukuran dan
pengakuan nilai suatu transaksi. Perbedaan ini biasa disebut sebagai koreksi
fiskal. Koreksi fiskal terdiri atas dua jenis..
- Koreksi positif, yaitu koreksi yang menyebabkan jumlah pajak terutang menjadi lebih besar. Misainya terdapat beban operasional yang menurut akuntansi komersial dapat diakui, namun menurut pajak tidak dapat diakui sebagai pengurang penghasilan (non-deductible expense). Sebagai contoh adalah biaya untuk kepentingan pribadi pengurus.
- Koreksi negatif, yaitu koreksi yang menyebabkan jumlah pajak terutang menjadi lebih kecil. Misainya, terdapat penghasilan yang menurut akuntansi komersial dapat diakui, namun menurut pajak tidak dapat diakui sebagai objek pajak. Sebagai contoh adalah penghasilan yang diterima dalam bentuk natura.
Wajib
Pajak mungkin sering mendengar istilah Laporan Keuangan Fiskal, istilah ini
sebenarnya bukan istilah baku dalam terminologi akuntansi di Indonesia. istilah
ini digunakan untuk merujuk laporan keuangan yang telah dilengkapi dengan
koreksi fiskal untuk menghitung dasar pengenaan pajak. Dalam buku ini sedapat
mungkin dihindari penggunaan istilah Laporan Keuangan Fiskal karena dapat
menimbulkan kesalahpahaman di mana istilah ini dianggap merujuk pada Laporan
Keuangan yang disusun berdasarkan ketentuan perpajakan. Sehingga dengan
demikian akan timbul persepsi bahwa ada dua jenis laporan keuangan yaitu
Laporan Keuangan Komersil dan Laporan Keuangan Fiskal. Padahal tidak demikian
kenyataannya.
Ketentuan
perpajakan hanya mengatur bahwa Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan
atau pencatatan sesuai dengan amanat pada Pasal 28 UU Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU KUP).
Namun, peraturan perpajakan tidak mengatur tentang bagaimana mencatat transaksi
dan menyusun pembukuan atau pencatatan tersebut. Pencatatan transaksi dan
penyusunan Laporan Keuangan adalah domain akuntansi keuangan yang tunduk pada
aturan-aturan dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Peraturan perpajakan
memanfaatkan informasi yang telah tersedia pada Laporan Keuangan untuk kemudian
dilakukan proses penyesuaian sehingga diperoleh dasar pengenaan pajak. Hal ini
sesuai dengan memori penjelasan Pasal 28 ayat (7) UU KUP yang menyatakan bahwa,
"Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem
yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi
Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan
lain."
Berdasarkan
Pasal 12 UU KUP dapat disimpulkan bahwa sistem pemungutan PPh Indonesia
menganut sistem "Self Assessment". Dalam sistem ini Wajib
Pajak diwajibkan untuk menghitung, memperhitungkan dan membayar sendiri
pajak-pajak yang terutang berdasarkan ketentuan undang-undang perpajakan dan
melaporkan ke kantor pelayanan pajak dengan cara mengisi dan menyampaikan SPT
Dengan demikian penentuan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang berada pada
Wajib Pajak itu sendiri.
Pajak
Penghasilan menganut sistem pemajakan komprehensif (comprehensive income
taxation) dengan mendefinisikan penghasilan berdasarkan tambahan kemampuan
ekonomis. Pajak Penghasilan dikenakan atas dasar jumlah penghasilan yang
dikenakan pajak yang diambil dari catatan pembukuan. Dalam Perpajakan
ditentukan bahwa Wajib Pajak dalam negeri diwajibkan untuk melaporkan pajak
terutangnya kepada negara dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak
yang dilampiri dengan Laporan Keuangan. Laporan Keuangan ini disusun khusus
untuk kepentingan perpajakan dengan rnengindahkan semua peraturan perpajakan.
Berdasarkan
Pasal 4 ayat (4) UU KUP menyatakan sebagai berikut: "Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan
pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan
laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak.” Laporan Keuangan tersebut merupakan insrumen yang
sangat berharga untuk menilai kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan
kewajibannya.* BTC Team *
No comments:
Post a Comment